Hidup Sekali Hiduplah yang Berarti. Selalu Memaksimalkan Waktu dengan Baik dan Memanfaatkan Peluang Puisi, Cerpen, Artikel, dan Sastra

Selasa, 08 Agustus 2017

Sekejap

Aku membenci rasa
Yang membelenggu jiwa
Penuh dengan siksa
Warnai nyata dan mimpi
Tersusup dalam hidup ini

Andai angin dapat ku kendali
Andai dapat ku memilih
Andai angin dapat ku kendali
Andai rasa dapat ku kenali
Takkan ku biarkan dirimu menelusupi hati
Mencuri rasa yang terkubur dalam hati

Kau datang dalam sekejap
Lalu, pergi tanpa berkedip
Bak petir yang menyambar
Sekejap bawa terang
Sekejap kemudian menghilang
Dapat sisakan perih

Minggu, 06 Agustus 2017

Cinta Dalam Diam

Aku merasa berat meninggalkan tempat ini. Antara berat meninggalkan materi jurnalistik atau meninggalkan pria itu.
Sepanjang perjalanan ke kelas, pikiranku masih mengelana ke gedung Graha Sentona, tempat acara itu, sosok pria yang hingga detik ini belum ku tahu namanya, mengusik pikiranku.

"Kamu kok diem aja sih? " Anya menegurku.

"Habis sebel, mau ikut materi jurnalistik, malah diajakin ke kelas" ucapku sebal.

Anya menghembuskan nafas kasar, "Oh Tuhan Bi kamu tahukan dosennya kiler abis, kalau kita telat nggak akan mungkin bisa masuk. Udah deh nanti juga bisa ke sana lagi"

Aku hanya diam, malas menanggapi ucapan Anya.

Sepanjang pelajaran di dalam kelas, aku sama sekali tidak berkonsentrasi dengan materi yang disampaikan oleh dosen, rasanya ingin segera pergi ke Gedung Graha Sentosa, selain untuk bertemu jurnalis idolaku juga aku ingin mengobati rasa penasaran pada sosok pria itu. Pria yang tiba-tiba mencuri perhatianku.
Waktu dua jam di dalam kelas seolah-olah berlalu berabad-abad. Lama dan membosankan itu yang kurasakan.

***

"Nya ayo cepetan ke Graha Sentosa, " keluar dari kelas aku menarik-narik tangan Anya, memintanya untuk bergegas.

"Aduh sabar dong, masih masukin buku iniloh, lagian memang kamu nggak mau shalat dhuhur dulu?"

"Aku lagi nggak shalat Nya"

"Kamu duluan aja deh, aku mau ke masjid shalat dulu"

"Ih Anya, shalatnya nanti aja kita ke Graha Sentosa cari tempat duduk dulu,baru shalat ya,please ayo dong" aku memelas padanya. Aku tahu dia tidak akan tega melihat ekspresi mengibaku, dan benar saja dia setuju.

Beberapa temanku merasa penasaran tentang perdebatan kami. Setelah aku menjelaskan singkat tentang acara yang ada di gedung Graha Sentosa,mereka tertarik untuk ikut. Jadilah aku dan beberapa teman sekelasku pergi bersama. Kami bersyukur karena tidak jadi ada jam pengganti pukul satu siang. Jika tetap ada jam pengganti, itu akan sangat menyebalkan sekali.

***

Sesampainya di Gedung Graha Sentosa tempat duduk bagian depan telah penuh, jadilah aku dan beberapa teman kelas lainnya mendapat tempat duduk di bagian sayap kiri panggung.

Setelah mendapattkan tempat duduk dan menyamankan posisi dudukku, kembali pandanganku berkelana mencari sosok itu, ah namun sayang tak kunjung ku jumpai sosoknya.

Tiga puluh menit telah berlalu sejak aku duduk di kursi itu dan sosok itu akhirnya kembali hadir. Ia naik ke atas panggung bersama seorang wanita cantik, Puteri Indonesia 2016. Ah hatiku kembali ciut, pria itu hidup dikelilingi wanita-wanita cantik dan sempurna. Aku memandang diriku sendiri, apalah aku yang jauh di bawah para wanita itu.

"Hei Bianka kamu kenapa sih, bengong terus," suara cempreng Anya mengangetkanku, aku hanya memanyunkan bibirku karena rasa kesal.

"He manyun mulu, kamu tadi yang ngajakin ke sini giliran udah sampai di sini, kamu nggak merhatiin acaranya," Tutur Anya kesal.

"Kan yang bikin aku mibat ke sini materi jurnalistiknya, ternyata udah habis, padahal aku pengen banget ketemu sama jurnalis idolaku itu, ah semuanya zonk karena bapak dosen yang super killer itu," keluhku penuh kekesalan.

"Bi.. Bi.. Masnya ganteng banget ya?  Sumpah pengen foto sama dia aduh badannya ituloh nggak nguatin," Caca salah satu teman kelasku tiba-tiba menarik-narik tanganku.

"Mas-mas yang mana sih?" tanyaku tak berminat.

"Itu mas Zul," jari Caca menunjuk ke samping panggung, mataku mengikuti arah jari telunjuknya mengarah.

"Zul?" ucapku heran dengan suara yang lirih bahkan hampir tak terdengar.

"Kenapa bengong? Cakepkan?" Caca menggodaku.

"Em...Namanya Zul?" tanyaku kemudian tanpa mempedulikan godaan Caca sebelumnya.

"Aduh Bianka katanya kamu dari pagi di sini, nama pembawa berita di tv itu aja masak kamu nggak tahu sih," ledek Caca padaku.

"Memangnya kamu pernah lihat dia?" tanyaku penasaran.

"Pernah sih, tapi nggak begitu memperhatikan, biasalah kalau lagi mindah-mindah chanel tv,sekali dua kali lihat dia berseliweran di salah satu stasiun tv swasta. Masak kamu nggak pernah lihat sih?"

"Em gitu, pantas aja wajahnya kok kayak nggak asing gitu, eh btw namanya siapa?"

"Zulfikar Nugraha, panggilannya Zul,"
Aku hanya bisa beroh ria mendengar jawaban dari Caca.

"Bi ayo minta foto bareng yuk, mumpung dia di belakang," bisik Caca padaku.

Tiba-tiba saja jantungku berdenyut kencang, ah aku benar-benar deg-degan. Dalam hati aku terus bertanya mungkinkah aku memang menyimpan rada pada sosok yang baru pertama ku lihat hari ini bahakan namanya baru ku ketahui beberapa detik yang lalu.

"Bianka ayo sini,  merapat foto bareng, malah bengong di situ," Anya menarik tanganku untuk mendekat. Kami pun berfoto bersama- sama, aku, teman kelasku, dan Zul.

Tidak hanya cukup dengan foto bersama, namun juga foto satu persatu dengan presenter itu. Rasa deg-degan kembali menyergah ketika aku berfoto berdua dengannya. Usai meladeni kami para mahasiswa narsis, pria itu kembali ke belakang panggung. Mungkin ia tidak mau lagi berada di belakang penonton takut kalau-kalau ada mahasiswa narsis lainnya yang meminta foto dengannya.

***

Pertemuan siang itu hanya berakhir sampai pada sesi foto, hingga acara usai aku tak lagi menjumpai sosoknya. Aku berharap untuk bertemu dia kembali, ya itu memang benar, aku memang berharap demikian, tapi apalah daya, sosoknya begitu jauh untuk ku raih. Meski aku telah berkata pada diriku sendiri bahwa sosoknya jauh untuk ku raih, namun tetap saja aku masih memikirkannya dan terus terbayang wajahnya.

"Woi Bianka, ngelamub terus ah kamu nih, " Anya tiba-tiba mengagetkankua dengan tumpukan bantal yang pas mengenai wajahku.

"Kamu apaan sih nimpuk-nimpuk orang sembarangan, kamu kira aku ini bahan buat timpukan apa, " gerutuku kesal.

"Habis kamu nih aku panggil-panggil nggak nyahut,"

"Apa sih gangggu orang lagi ngayal, " jawabku sekenanya.

"Ha ngayal?  Aduh malem-malem gini kok ngayal kesambet tahu rasa loh,"

"Biarin aja, kan aku yang kesambet bukan kamu," ujarku masih dengan kesal.

"Udah ah aku lagi males ribut, Bi kita ke sate Taechan aja yuk, aku laper nih," tiba-tiba suara Anya berubah menjadi lebih lembut.

"Sate Taechan?  Ah boleh deh aku juga lagi laper,"

Sebenarnya alasanku bukan karena lapar tapi karna ingin menghirup udara segar dan menghilangkan bayang-bayang Zul dari otakku.

Jadilah malam itu aku dan Anya dengan mengendarai sepedah motor bebek milikku membelah jalanan ibu kota menuju kedai sate taechan.

***

Sesampainya di kedai sate Taecha langganan Anya, kami pun memesan du porsi, namun tiba-tiba sosok pria yang berhasil mencuri pikiranku juga hadir di tempat itu.

"Ha kak Zul," ucap Anya keheranan.

"Heh Bi, mimpi apa coba bisa ketemu si ganteng itu lagi di tempat ini," Anya berbisik di telingaku.

"Hust apaan sih kamu, udah diam deh, jangan norak, " ucapku kesal padanya, sejujurnya bukan karena sikap norak Anya tapi itu hanya sebagai pengalih betapa deg-degannya diriku.

Beberapa saat pandangan pria itu menatap ke arahku, seper sekian detik pandangan mata kami saling beradu, dan hal itu benar-benar membuatku salah tingkah.

Pria itu datang tidak sendiri, ia bersama dua teman lainnya, satu perempuan, dan satu pria. Aku bisa mengenali sosok perempuan itu, di acara kampusku, siang tadi dia juga menjadi moderator. Saat aku masih memperhatikan mereka bertiga yang sedang memesan makanan, mataku terbelalak melihat Anya telah ada di depan sana, berbicara dengan mereka. Aku sama sekali tidak mengetahui kapan perginya sahabatku itu.

Beberapa menit kemudian, Anya kembali ke meja kami, namun tidak hanya dia sendiri, besertanya Zul dan dua temannya. Dalam hati aku merutuki tindakan gila Anya, namun aku juga senang pada saat yang bersama juga.

"Oh iya Kak Zul, Kak Tari, dan Kak Ruben ini teman saya, namanya Bianka," Anya memperkenalkan diriku pada mereka,  aku menjabat tangan perempuan yang bernama tari itu, dan menangkupkan kedua tanganku di depan dada kepada kedua pria itu, Kak Zul dan Kak Ruben.

Setelah mempersilahkan mereka untuk duduk aku pun menarik Anya agak menjauh dari mereka, "He Nya kamu apa-apaan sih, kenapa kamu ajak mereka ke tempat kita," bisikku pada Anya.

"Memangnya kenapa si?  Kan lumayan bisa ngobrol sama jurnalis, toh kamu dari tadi mikirin dia kan?"

"Aku melotot terkejut mendengar ucapan Anya," tak pernah terkendali kalau bicara.
"Anya kamu ini apa-apaan sih," ucapku penuh kekesalan.

"Iya-iya maaf, okedeh aku tutup mulut," ucap Anya sambil memberikan gerakan mengunci bibir.

"Sudah jangan bertengakar, kalian kayak anak SMA aja sih, btw beneran kamu penyiar juga? " Kak Tari mencoba melerai kami.

Aku hanya mengangguk kecil menanggapi pertanyaan Kak Tari.

"Btw kamu belum jawab pertanyaan yang tadi?" kak zul ikut bersuara.

"Pertanyaan yang mana kak? " tanyaku sedikit bingung.

"Kamu dipanggil ke rektorat karena apa? " kak Zul mengulangi pertanyaan yang diberikan kak Tari sebelumnya.

"Oh itu, ya biasalah kak, kontennya gk sesuai dengan para petinggi, mengkritisi tentang kebijakan mereka. Ya mereka pengennya yang ditulis di majalah atau bulletin, tentang prestasi kampus atau mahasiswanya, bukan kritik terhadap pihak kampus" aku menjelaskan panjang lebar tentang kasus-kasus yang pernah aku alami semasa liputan berita. Kak Zul beberapa kali memujiku, begitu pula dengan Kak Tari dan Kak Ruben.

Selesai makan, kami masih sempat berbicara dab bergurau tentang beberapa hal, pertemuan malan itu kami tutup dengan grofi. Menyenangkan, itu kesan yang aku dapatkan saat bertemu mereka.

Di akhir perjumpaan Kak Zul mengatakan ingin melihat hasil berita tulisanku, aku pun mengiyakan dan mengatakan akan mengirimkannya jika dia bersedia memberikan alamat yang dapat ku tuju. Namun hal lain dikatakannya, "kalau ada waktu aku akan ke kampusmu lagi, jadi siapin aja oke," setelah mengucapkan kata-kata itu, dia berjalan pergi dab masuk ke dalam mobil bersama teman-temannya. Kami pun saling memberikan lambaian tangan tanda perpisahan. Jam menunjukkan pukul 11.45 tak terasa hampir empat jam kami menghabiskan waktu bersama, tapi rasanya begitu singkat.

"Cie yang lagi kasmaran," suara cempreng Anya tiba-tiba mengembalikanku kepada kenyataan.

"He Anya sialan kamu, bikin orang malu setengah mati,"
Anya menjulurkan lidahnya padaku dan berlari untuk menghindariku. Aku mengejarnya hingga ke parkiran motor, hatiku sebenarnya merasakan antara kesal dan senang. Mempunyai sahabat seperti Anya memang hal yang langkah.

"He Bi, udah deh nggak usah muna, aku tahu kamu itu dari tadi mikirin su Zul itukan?" ucap Anya masih ngos-ngosan.

"Kamu mah apaan sih?" aku mencoba untuk berkilah

"Bianka sahabatku tercinta, aku ini sahabatmu, kita kenal udah lama, aku tahu apa isi hatimu itu, jadi nggak usah bohong sama aku,"

"Ih apaan sih, alay tahu kamu, kalau memang tahu isi hatiku, memangnya apa hayo? "

"Isi hatimu lagi dipenuhi bunga-bunga kebahagiaan, karena bisa ketemu dan ngobrol bareng Zul," teriak Anya tanpa mempedulikan kondisi sekitar yang ramai.

***

To be continue.....

Selasa, 03 Januari 2017

Sebuah makna

CINTA? 
Apa itu cinta?  Sebuah kata yang terdengar sederhana namun mempunyai kedalaman makna.  Kata yang mampu menyentuh relung hati manusia yang paling dalam.  Sebuah kata yang mampu membuat seorang yang keras,  tegas, dan kuat melunak. Sebut saja Raja Jalal,  dalam cerita Jodha Akbar,  seorang raja yang awalnya bertindak segala sesuatu tanpa hati, tiba-tiba karena pertemuannya denga Ratu Jodha pribadinya berubah,  dari raja kejam tak berperasaan menjafi raja agung,  adil,  dan penuh kebijaksanaan.

Senin, 02 Januari 2017

Cerita Pendek (Cerpen)

CINTA DI UFUK BARAT

Aida, gadis cantik rupa dan budi pekertinya. Banyak pria yang tertarik dan berniat untuk mempersuntingnya. Namun, tidak ada yang dapat menggetarkan hatinya. Disisi lain, orangtuanya, Bu Ajeng dan Pak Mansur terus mendesaknya untuk segera menikah.
 Nduk, kamu mau melajang sampai kapan? Umi dan abi sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Lihatlah teman-teman sebayamu sudah pada punya momongan,” tutur Bu Ajeng pada suatu malam ketika sedang berkumpul di ruang keluarga.

Kepasrahan Seorang Hamba

CINTA ALLAH PADA MANUSIA
Tidak ada yang dapat mengetahui tentang kehidupan di masa depan, tidak ada yang dapat menjamin orang yang kaya pada hari ini akan kaya pula pada esok hari, tidak ada yang dapat memastikan orang yang berada di atas awan akan selalu di tempat yang sama. Waktu berputar menggoreskan cerita-cerita baru yang hanya diketahui pembuat skenario kehidupan, Tuhan semesta alam. Semua harapan dan impian dapat dengan mudah diluluh lantakkan dan hangus seperti abu dalam waktu sepersekian detik bak kilat yang menyambar tiba-tiba. Hari ini satu arti kehidupan kembali dapat ku pahami. Tidak ada yang pasti di dunia ini, semua hanya fatamorgana, semua hanya ilusi, jika ada yang pasti maka itu hanyalah kematian belaka. 

Puisi untuk Negeri

NEGERI TUMPAH DARAH

Indonesia negeri tumpah darah
Berbagai kekayaan berlimpah ruah
Alam berikan keramahannya pada negeri tercinta
Berjuta sumber kehidupan berhambur tak terkira
Hutan, gunung, sawah, lautan dan segala yang ada di dalamnya
Bersatu padu tawarkan kemakmuran

Jumat, 11 Maret 2016

Ketika hati tlah tersakiti

Apalah daya diri
Tiada dapat tuk menentang hati
Bersarang sembilu terasa perih
Tiada dapat tuk hapuskan luka