CINTA DI UFUK BARAT
Aida, gadis cantik rupa dan budi pekertinya.
Banyak pria yang tertarik dan berniat untuk mempersuntingnya. Namun, tidak ada
yang dapat menggetarkan hatinya. Disisi lain, orangtuanya, Bu Ajeng dan Pak
Mansur terus mendesaknya untuk segera menikah.
“Nduk,
kamu mau melajang sampai kapan? Umi dan abi sudah tidak sabar ingin menimang
cucu. Lihatlah teman-teman sebayamu sudah pada punya momongan,” tutur Bu Ajeng
pada suatu malam ketika sedang berkumpul di ruang keluarga.
Aida menanggapi pertanyaan itu dengan tenang,
ia menyunggingkan senyumnya, “umi, suatu hari Aida pasti akan menikah. Jangan
terlalu khawatir.”
“Aida, wajar kalau abi dan umi khawatir. Kamu
itu kan anak sulung di keluarga ini. Lihatlah adik kamu Raka saja lima bulan
lagi akan menikah, sedangkan kamu sampai detik ini belum punya calon. Banyak
pria yang datang ingin bertaruf denganmu tapi semuanya kamu tolak, kamu mau
cari yang seperti apa si nduk,” Pak Mansur mulai kesal dengan sikap anak
gadisnya yang terlihat tenang.
“Abi, Aida yakin Allah akan memberikan jodoh
pada saat yang tepat.”
“Bicara dengan kamu itu memang susah. Disuruh
menikah saja susahnya minta ampun,” ucap Pak Mansur sinis, kemudian ia pergi
meninggalkan ruang keluarga.
“Lihatlah nduk! Lagi-lagi kamu bikin
abimu kesal,” Bu Ajeng memutuskan untuk mengikuti suaminya. Kini di ruang
keluarga itu tinggallah Aida dan Raka, adik satu-satunya.
“Mbak, tidak perlu dimasukkan hati omongan abi
dan umi. Mereka hanya resah saja, nanti juga baik lagi” Raka yang sedari tadi
diam akhirnya ikut bicara.
“Mbak nggak apa-apa kok ka, kamu tenang saja.
Mbak pasrahkan semuanya pada Allah”
**
Sore itu, seperti biasa Aida pergi mengajar ngaji
di panti asuhan yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Saat Aida tiba di
pelataran panti, pemandangan yang tidak biasa tersuguh di hadapannya.
Halaman panti itu terlihat ramai dengan
anak-anak yang telah memakai baju koko dan busana muslim, “ah mungkin masjid
sedang dibersihkan sehingga tempat mengaji dipindahkan ke halaman,” pikir Aida.
“Aida, kamu sudah datang?” suara ibu ketua
panti yang bernama Bu Fika menyadarkan Aida dari lamunannya.
“Ia bu baru saja, oh iya bu apa hari ini
tempat mengajinya dipindah ke halaman panti?”
Bu Fika terkikik pelan, “aduh maaf sebelumnya
Aida, saya lupa memberi tahu kamu kalau hari ini belajar mengajinya libur
karena ada tasyakuran”
Aida nampak penasaran karena ia tidak tahu
apa-apa. Padahal biasanya jika ada acara di panti Aida pasti dilibatkan.
“Tasyakuran
untuk ulang tahun salah satu anak donatur tetap panti, acaranya juga mendadak.
Baru tadi pukul dua siang Pak Hafidz memberi tahu,” Bu Fika seakan mengerti isi
hati Aida.
Aida hanya mengagguk tanda mengerti, “baiklah kalau begitu Aida pulang saja
bu. Besok Aida akan datang lagi”
“Kamu ikut saja Aida, anak-anak pasti akan
senang,” Aida menggelengkan kepalanya, merasa tidak enak karena donatur penyelenggara
acara tidak mengundangnya.
Saat Aida melangkahkan kakinya, tiba-tiba
suara seorang laki-laki asing menghentikannya, “saya akan sangat senang kalau
mbak bisa ikut mendoakan anak saya”
Aida menghentikan langkahnya, berbalik memandang ke sumber suara. Seorang pria yang perkiraan tingginya
170 cm berbadan atletis, rmata coklat dengan wajah cukup tampan, berdiri
dihadapan Aida. Tiba-tiba Aida merasakan ada desiran aneh di dalam hatinya. Ia
menyadari itu salah, dengan buru-buru ia menundukkan pandangannya, tidak
seharusnya ia memandang pria yang bukan mahromnya selekat itu. Dalam
hati ia terus mengucapkan istighfar.
“Kenapa anda tidak menjawab? anda keberatan
dengan tawaran saya?” Hafidz kembali membuka suara, Aida berusaha menetralisasi
jantungnya yang tiba-tiba berdegup tidak menentu.
“Tidak, sama sekali tidak. Baiklah saya akan ikut.
Terimakasih undangannya,” Aida tetap menundukkan pandangannya, ia berusaha
menghindari tatapan langsung dengan itu.
**
Setelah menjalankan sholat maghrib berjamaah,
Aida pamit pulang. Hari telah gelap, Hafidz merasa tidak tega membiarkan Aida
pulang sendirian. Ia menawarkan diri untuk mengantar namun ditolak dengan halus
oleh Aida.
“Tidak
pak, saya bisa pulang sendiri. Bapak tidak perlu khawatir, saya sudah biasa
pulang jam segini setelah mengajar
ngaji,”
“Baiklah,
saya tidak akan memaksa. Tapi tolong jangan panggil saya bapak. Saya rasa umur
kita tidak jauh berbeda. Saya leih nyaman kalau kamu panggil nama saya saja,”
Aida
tersenyum, merasa malu atas panggilan yang ia berikan pada pria itu, “baiklah
saya akan memanggil anda kakak saja. Tidak enak jika hanya memanggil nama”
“Baiklah
terserah kamu, yang penting jangan panggil saya bapak atau om,” gurau Hafidz, yang
secara spontan membuat Aida tersenyum.
“Tante....,”
tiba-tiba suara teriakan Hasan menghentikan tawa kedua insan itu. Hafidz menyambut
kedatangan buah hatinya dengan senyum yang mengembang.
“Tante
jangan pergi dulu, Hasan masih mau main sama tante,” Hasan tidak mempedulikan
Hafidz yang tersenyum padanya, ia berlari ke arah Aida dan menggenggam erat
tangan Aida seakan tidak ingin ditinggal.
“Tante
harus pergi sayang, ini sudah malam,”
Aida berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Hasan. Mendengar ucapan
Aida, membuat Hasan terlihat sedih.
“Sayang,
tante Aida harus pulang. Kamu main sama papa aja ya,” Hafidz mencoba membujuk
buah hatinya.
Setelah dijanjikan Aida untuk bermain bersama
di lain kesempatan barulah Hasan bersedia melepaskan Aida. Meski baru beberapa
jam ia mengenal Hasan namun dengan cepat Aida dapat menyanyangi anak itu.
Setiap melihat Hasan, ia berpikir bahwa wajah Hasan sangat familiar.
**
Jam
menunjukkan pukul 02.30 WIB saat Aida kembali bersujud di hadapan sang Maha
Pencipta. Dalam doanya ia memohon agar Alllah selalu membimbing jalannya dan
memberikan imam terbaik dalam hidupnya. Usai berdoa, tanpa sadar Aida tertidur
di atas sajadahnya dengan mengenakan mukenah.
Dalam tidurnya, ia memimpikan seseorang yang
telah lama sekali menghilang. Aini sahabat dekat Aida saat masih berada di mahad.
Dalam mimpinya, ia melihat Aini tersenyum padanya, wajahnya bersinar. Bayangan
wajah Aini samar-samar menghilang. Kini berganti dengan sosok lain, sosok yang
baru beberapa jam lalu dikenalnya.
Kumandang
adzan subuh membangunkan Aida. Ia mendapati dirinya tertidur dengan mengenakan
mukenah, “ya Allah ternyata aku tertidur. Kenapa aku bermimipi seperti itu?
Aini. Sahabatku, sudah lama sekali aku tidak bertemu dan mendengar kabarnya,
hampir delapan tahun sejak kami lulus.”
**
Sore
itu langit nampak cerah, Aida seperti biasa mengajar anak-anak panti ngaji
di masjid. Di temgah-tengah pelajaran mengajinya, tiba-tiba sosok yang ia kenal
beberapa hari lalu muncul di depan pintu masjid. Aida berjalan menghampiri sosok
yang membuatnya susah tidur sejak hari itu untuk menanyakan maksud
kedatangannya.
“Maaf
mengganggu kegiatan mengajarmu,” Hafidz membuka suara saat Aida telah berdiri
di hadapannya.
“Tidak
masalah kak, Aida juga baru mulai. Tumben ke sini?,”
“Hasan
sejak beberapa hari yang lalu terus merengek ingin bertemu kamu. Maaf ya membuatmu
menjadi tidak nyaman,” Hafidz merasa serba salah di hadapan gadis itu.
“Tidak
perlu minta maaf, Aida tidak keberatan kok,” Aida tersenyum manis ke arah
Hasan, ia mencubit pipi kanan Hasan yang tembam.
“Terimakasih
sekali Aida. Kalau begitu apa saya boleh titip Hasan? saya harus segera pergi
karena masih ada rapat di kantor.”
Aida
tersenyum ramah dan mengangguk. Ia mengambil Hasan dengan hati-hati dari
gendongan Hafidz agar tidak saling bersentuhan. Setelah mengucapkan terimakasih
Hafidz pamit. Aida membawa Hasan bersamanya.
**
Hafidz
menepati janjinya, petang itu ia datang tepat waktu saat adzan isya’
berkumandang. Ekspresi kelegaan tergambar jelas dari wajah Aida. Namun, hal
berbeda terlihat dari wajah Hasan. Anak lak-laki yang baru berusia lima tahun
itu tiba-tiba saja nampak murung.
“Assalammualaikum,
terimakasih kamu sudah menjaga Hasan. Maaf kalau dia merepotkan,” ucap Hafidz setelah
berada di hadapan Aida.
“Sama
sekali tidak merepotkan, Hasan anak yang baik,” Aida berkata jujur.
“Hei
jagoan ayah, kok cemberut?,” Hafidz mengalihkan pandangannya ke putra semata
wayangnya yang sedari ia datang tidak bergeming. Hasan tidak merespon ucapan
ayahnya, ia memeluk erat tubuh Aida seakan tidak ingin dipisahkan.
“Sayang ayo pulang. Kasihan tante Aida pasti
lelah dan ingin istirahat,” Hafidz mencoba membujuk anaknya agar melepasakan
pelukan dari Aida. Hasan tidak menghiraukan permintaan ayahnya.
Hafidz menarik paksa Hasan, Aida tidak tega
melihat hal itu. Mata Hasan berkaca-kaca, hati Aida terenyuh menyaksikkan itu.
“Cukup
kak, jangan paksa Hasan. Biarlah malam ini Hasan bersama saya. Maaf sebelumnya,
saya memang tidak punya hak dalam urusan ini, tapi saya tidak tega melihat
Hasan menangis,” dengan memaksakan keberaniannya Aida membuka suara.
Hafidz
merasa tidak enak menerima tawaran Aida, tapi dalam hatinya sendiri ia tidak
tega melihat bocah kecilnya bersedih. Setelah Aida menyakinkannya barulah
Hafidz mengangguk setuju.
**
Jadilah
malam itu, Aida menginap di panti karena dia tidak ingin orantuanya bertanya
macam-macam bila melihatnya pulang dengan seorang anak. Saat malam semakin
larut, saat Aida merasakan matanya mulai mengantuk. Anak kecil berusia lima
tahun itu melontarkan pertanyaan yang membuatnya terperangah.
“Tante,
Hasan sayang sama tante. Tante maukan jadi bundanya Hasan,?” pertanyaan itu
begitu polos keluar dari mulut mungil bocah laki-laki yang menggemaskan.
Aida
merasa bingung. Hatinya bimbang antara mengiyakan dan menolak. Ia sadar, tidak
mungkin baginya menjadi bunda Hasan karena bunda kandungnya pasti tidak akan
suka.
“Tante
kok diam? Tante nggak mau ya? tante nggak sayang sama Hasan?” ucapan Hasan
menyadarkan Aida.
Lidah
Aida terasa keluh, “bukan begitu. Tante sayang sama kamu. Tapi tante tidak
mungkin jadi bundanya Hasan, kan Hasan sudah punya bunda.”
“Hasan
sudah tidak punya bunda lagi. Kata ayah, Allah sangat menyayangi bunda. Jadi,
Allah mengambil bunda,” ucapan polos Hasan membuat mata Aida mulai
berkaca-kaca.
“Bunda
Aini pasti bahagia kalau tante mau jadi bundanya Hasan,” Hasan kembali
bersuara. Hati Aida mendadak merasa sesak saat mendengar nama Aini. Nama itu
memang banyak. Tapi mimpi yang beberapa hari lalu menghiasi tidur Aida
tiba-tiba terulang kembali dalam pikirannya. Betapa bodoh dirinya selama ini
tidak menyadari bahwa wajah Hasan sangatlah mirip dengan Aini. Sahabatnya.
“Nama
bunda kamu Aini?,” Aida mencari kepastia, berusaha menepis kemungkinan yang
terjadi
Hasan
mengangguk pasti, “ia Bunda Hasan Aini Salsabila,” bak disambar petir di malam
hari, tubuh Aida seketika mengejang. Lidahnya keluh, hatinya terasa begitu
sesak. Air matanya kini tak dapat terbendung.
Hasan
melihat perubahan di wajah Aida, “apa tante kenal bunda Hasan?,” Aida tidak
sanggup berkata-kata, ia hanya mampu mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Hasan.
**
Beberapa
hari setelah malam itu, Aida bersama dengan Hasan dan Hafidz pergi ke makam
Aini. Ia tidak menyangka kan bertemu dengan Aini di pemakaman. Masih teringat
dengan jelas dalam ingatan Aida, terakhir kali bertemu Aini, saat sahabatnya
memutuskan kuliah di Mesir. Saat Aida melepas Aini di bandara.
“Dunia
terasa begitu sempit bukan? Sama sekali aku tidak menyangka kamu adalah sahabat
Aini di mahad madani, sosok yang selama ini sering ia ceritakan,” Hafidz
memecah keheningan di tengah perjalanan menuju parkiran pemakaman.
“Kakak
benar. Aku merindukan sahabatku dan Allah mempertemukan aku dengannya di tempat
ini.”
“Setiap
takdir yang digariskan Allah pasti ada hikmahnya”
Aida
tersenyum ramah menanggapi ucapan pria yang telah ia kagumi semenjak pertemuan
pertama mereka.
Saat
Aida berjalan mendahului Hafidz, tiba-tiba Hafidz meminta Aida untuk
menghentikan langkahnya. “Aku ingin berbicara sesuatu,” ucap Hafidz setelah
berdiri dihadapan Aida.
“Bukankah
dari tadi kita telah berbicara?,” Aida menaikkan alis kirinya.
“Hal
turidiin an takuna zaujati?,” kata-kata itu berhasil meluncur dari bibir
Hafidz. Aida merasa bingung. Hatinya campur aduk tidak karuan. Ia tidak tahu
harus memberikan jawaban apa pada pria yang sedang berdiri di hadapannya itu.
“Aida
apa kamu marah?,” Hafidz mencoba memberanikan diri, jantungnya terus berdegup
dengan kencang.
Aida
menggelengkan kepalanya, wajahnya tidak berani memandang pria itu. Dia
tertunduk, “berikan Aida waktu kak sampai saat matahari berada di ufuk barat.
Datanglah ke rumah ba’da maghrib,” hanya kata-kata itu yang mampu
terucap dari bibir ranum Aida.
∞
Mahad : Pondok Pesantren
Nduk: Panggilan orang jawa untuk anak perempuan
Mahram: Hubungan keluarga
Hal turidiin an takuna zaujati?: Apa kamu mau menjadi istriku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar