Hidup Sekali Hiduplah yang Berarti. Selalu Memaksimalkan Waktu dengan Baik dan Memanfaatkan Peluang Cerita Pendek (Cerpen) | Puisi, Cerpen, Artikel, dan Sastra

Senin, 02 Januari 2017

Cerita Pendek (Cerpen)

CINTA DI UFUK BARAT

Aida, gadis cantik rupa dan budi pekertinya. Banyak pria yang tertarik dan berniat untuk mempersuntingnya. Namun, tidak ada yang dapat menggetarkan hatinya. Disisi lain, orangtuanya, Bu Ajeng dan Pak Mansur terus mendesaknya untuk segera menikah.
 Nduk, kamu mau melajang sampai kapan? Umi dan abi sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Lihatlah teman-teman sebayamu sudah pada punya momongan,” tutur Bu Ajeng pada suatu malam ketika sedang berkumpul di ruang keluarga.
Aida menanggapi pertanyaan itu dengan tenang, ia menyunggingkan senyumnya, “umi, suatu hari Aida pasti akan menikah. Jangan terlalu khawatir.”
“Aida, wajar kalau abi dan umi khawatir. Kamu itu kan anak sulung di keluarga ini. Lihatlah adik kamu Raka saja lima bulan lagi akan menikah, sedangkan kamu sampai detik ini belum punya calon. Banyak pria yang datang ingin bertaruf denganmu tapi semuanya kamu tolak, kamu mau cari yang seperti apa si nduk,” Pak Mansur mulai kesal dengan sikap anak gadisnya yang terlihat tenang.
“Abi, Aida yakin Allah akan memberikan jodoh pada saat yang tepat.”
“Bicara dengan kamu itu memang susah. Disuruh menikah saja susahnya minta ampun,” ucap Pak Mansur sinis, kemudian ia pergi meninggalkan ruang keluarga.
“Lihatlah nduk! Lagi-lagi kamu bikin abimu kesal,” Bu Ajeng memutuskan untuk mengikuti suaminya. Kini di ruang keluarga itu tinggallah Aida dan Raka, adik satu-satunya.
“Mbak, tidak perlu dimasukkan hati omongan abi dan umi. Mereka hanya resah saja, nanti juga baik lagi” Raka yang sedari tadi diam akhirnya ikut bicara.
“Mbak nggak apa-apa kok ka, kamu tenang saja. Mbak pasrahkan semuanya pada Allah”
**
Sore itu, seperti biasa Aida pergi mengajar ngaji di panti asuhan yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Saat Aida tiba di pelataran panti, pemandangan yang tidak biasa tersuguh di hadapannya.
Halaman panti itu terlihat ramai dengan anak-anak yang telah memakai baju koko dan busana muslim, “ah mungkin masjid sedang dibersihkan sehingga tempat mengaji dipindahkan ke halaman,” pikir Aida.
“Aida, kamu sudah datang?” suara ibu ketua panti yang bernama Bu Fika menyadarkan Aida dari lamunannya.
“Ia bu baru saja, oh iya bu apa hari ini tempat mengajinya dipindah ke halaman panti?”
Bu Fika terkikik pelan, “aduh maaf sebelumnya Aida, saya lupa memberi tahu kamu kalau hari ini belajar mengajinya libur karena ada tasyakuran”
Aida nampak penasaran karena ia tidak tahu apa-apa. Padahal biasanya jika ada acara di panti Aida pasti dilibatkan.
 “Tasyakuran untuk ulang tahun salah satu anak donatur tetap panti, acaranya juga mendadak. Baru tadi pukul dua siang Pak Hafidz memberi tahu,” Bu Fika seakan mengerti isi hati Aida.
Aida hanya mengagguk tanda mengerti, “baiklah kalau begitu Aida pulang saja bu. Besok Aida akan datang lagi”
“Kamu ikut saja Aida, anak-anak pasti akan senang,” Aida menggelengkan kepalanya, merasa tidak enak karena donatur penyelenggara acara tidak mengundangnya.
Saat Aida melangkahkan kakinya, tiba-tiba suara seorang laki-laki asing menghentikannya, “saya akan sangat senang kalau mbak bisa ikut mendoakan anak saya”
Aida menghentikan langkahnya, berbalik memandang ke sumber suara. Seorang pria yang perkiraan tingginya 170 cm berbadan atletis, rmata coklat dengan wajah cukup tampan, berdiri dihadapan Aida. Tiba-tiba Aida merasakan ada desiran aneh di dalam hatinya. Ia menyadari itu salah, dengan buru-buru ia menundukkan pandangannya, tidak seharusnya ia memandang pria yang bukan mahromnya selekat itu. Dalam hati ia terus mengucapkan istighfar.
“Kenapa anda tidak menjawab? anda keberatan dengan tawaran saya?” Hafidz kembali membuka suara, Aida berusaha menetralisasi jantungnya yang tiba-tiba berdegup tidak menentu.
“Tidak, sama sekali tidak. Baiklah saya akan ikut. Terimakasih undangannya,” Aida tetap menundukkan pandangannya, ia berusaha menghindari tatapan langsung dengan itu.
**
            Setelah menjalankan sholat maghrib berjamaah, Aida pamit pulang. Hari telah gelap, Hafidz merasa tidak tega membiarkan Aida pulang sendirian. Ia menawarkan diri untuk mengantar namun ditolak dengan halus oleh Aida.
            “Tidak pak, saya bisa pulang sendiri. Bapak tidak perlu khawatir, saya sudah biasa pulang jam segini setelah  mengajar ngaji,”
            “Baiklah, saya tidak akan memaksa. Tapi tolong jangan panggil saya bapak. Saya rasa umur kita tidak jauh berbeda. Saya leih nyaman kalau kamu panggil nama saya saja,”
            Aida tersenyum, merasa malu atas panggilan yang ia berikan pada pria itu, “baiklah saya akan memanggil anda kakak saja. Tidak enak jika hanya memanggil nama”
            “Baiklah terserah kamu, yang penting jangan panggil saya bapak atau om,” gurau Hafidz, yang secara spontan membuat Aida tersenyum.
            “Tante....,” tiba-tiba suara teriakan Hasan menghentikan tawa kedua insan itu. Hafidz menyambut kedatangan buah hatinya dengan senyum yang mengembang.
            “Tante jangan pergi dulu, Hasan masih mau main sama tante,” Hasan tidak mempedulikan Hafidz yang tersenyum padanya, ia berlari ke arah Aida dan menggenggam erat tangan Aida seakan tidak ingin ditinggal.
            “Tante harus pergi sayang, ini sudah  malam,” Aida berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Hasan. Mendengar ucapan Aida, membuat Hasan terlihat sedih.
            “Sayang, tante Aida harus pulang. Kamu main sama papa aja ya,” Hafidz mencoba membujuk buah hatinya.
Setelah dijanjikan Aida untuk bermain bersama di lain kesempatan barulah Hasan bersedia melepaskan Aida. Meski baru beberapa jam ia mengenal Hasan namun dengan cepat Aida dapat menyanyangi anak itu. Setiap melihat Hasan, ia berpikir bahwa wajah Hasan sangat familiar.
**
            Jam menunjukkan pukul 02.30 WIB saat Aida kembali bersujud di hadapan sang Maha Pencipta. Dalam doanya ia memohon agar Alllah selalu membimbing jalannya dan memberikan imam terbaik dalam hidupnya. Usai berdoa, tanpa sadar Aida tertidur di atas sajadahnya dengan mengenakan mukenah.
Dalam tidurnya, ia memimpikan seseorang yang telah lama sekali menghilang. Aini sahabat dekat Aida saat masih berada di mahad. Dalam mimpinya, ia melihat Aini tersenyum padanya, wajahnya bersinar. Bayangan wajah Aini samar-samar menghilang. Kini berganti dengan sosok lain, sosok yang baru beberapa jam lalu dikenalnya.
            Kumandang adzan subuh membangunkan Aida. Ia mendapati dirinya tertidur dengan mengenakan mukenah, “ya Allah ternyata aku tertidur. Kenapa aku bermimipi seperti itu? Aini. Sahabatku, sudah lama sekali aku tidak bertemu dan mendengar kabarnya, hampir delapan tahun sejak kami lulus.”
**
            Sore itu langit nampak cerah, Aida seperti biasa mengajar anak-anak panti ngaji di masjid. Di temgah-tengah pelajaran mengajinya, tiba-tiba sosok yang ia kenal beberapa hari lalu muncul di depan pintu masjid. Aida berjalan menghampiri sosok yang membuatnya susah tidur sejak hari itu untuk menanyakan maksud kedatangannya.
            “Maaf mengganggu kegiatan mengajarmu,” Hafidz membuka suara saat Aida telah berdiri di hadapannya.
            “Tidak masalah kak, Aida juga baru mulai. Tumben ke sini?,”
            “Hasan sejak beberapa hari yang lalu terus merengek ingin bertemu kamu. Maaf ya membuatmu menjadi tidak nyaman,” Hafidz merasa serba salah di hadapan gadis itu.
            “Tidak perlu minta maaf, Aida tidak keberatan kok,” Aida tersenyum manis ke arah Hasan, ia mencubit pipi kanan Hasan yang tembam.
            “Terimakasih sekali Aida. Kalau begitu apa saya boleh titip Hasan? saya harus segera pergi karena masih ada rapat di kantor.”
            Aida tersenyum ramah dan mengangguk. Ia mengambil Hasan dengan hati-hati dari gendongan Hafidz agar tidak saling bersentuhan. Setelah mengucapkan terimakasih Hafidz pamit. Aida membawa Hasan bersamanya.
**
            Hafidz menepati janjinya, petang itu ia datang tepat waktu saat adzan isya’ berkumandang. Ekspresi kelegaan tergambar jelas dari wajah Aida. Namun, hal berbeda terlihat dari wajah Hasan. Anak lak-laki yang baru berusia lima tahun itu tiba-tiba saja nampak murung.
            “Assalammualaikum, terimakasih kamu sudah menjaga Hasan. Maaf kalau dia merepotkan,” ucap Hafidz setelah berada di hadapan Aida.
            “Sama sekali tidak merepotkan, Hasan anak yang baik,” Aida berkata jujur.
            “Hei jagoan ayah, kok cemberut?,” Hafidz mengalihkan pandangannya ke putra semata wayangnya yang sedari ia datang tidak bergeming. Hasan tidak merespon ucapan ayahnya, ia memeluk erat tubuh Aida seakan tidak ingin dipisahkan.
“Sayang ayo pulang. Kasihan tante Aida pasti lelah dan ingin istirahat,” Hafidz mencoba membujuk anaknya agar melepasakan pelukan dari Aida. Hasan tidak menghiraukan permintaan ayahnya.
Hafidz menarik paksa Hasan, Aida tidak tega melihat hal itu. Mata Hasan berkaca-kaca, hati Aida terenyuh menyaksikkan itu.
            “Cukup kak, jangan paksa Hasan. Biarlah malam ini Hasan bersama saya. Maaf sebelumnya, saya memang tidak punya hak dalam urusan ini, tapi saya tidak tega melihat Hasan menangis,” dengan memaksakan keberaniannya Aida membuka suara.
            Hafidz merasa tidak enak menerima tawaran Aida, tapi dalam hatinya sendiri ia tidak tega melihat bocah kecilnya bersedih. Setelah Aida menyakinkannya barulah Hafidz mengangguk setuju.
**
            Jadilah malam itu, Aida menginap di panti karena dia tidak ingin orantuanya bertanya macam-macam bila melihatnya pulang dengan seorang anak. Saat malam semakin larut, saat Aida merasakan matanya mulai mengantuk. Anak kecil berusia lima tahun itu melontarkan pertanyaan yang membuatnya terperangah.
            “Tante, Hasan sayang sama tante. Tante maukan jadi bundanya Hasan,?” pertanyaan itu begitu polos keluar dari mulut mungil bocah laki-laki yang menggemaskan.
            Aida merasa bingung. Hatinya bimbang antara mengiyakan dan menolak. Ia sadar, tidak mungkin baginya menjadi bunda Hasan karena bunda kandungnya pasti tidak akan suka.
            “Tante kok diam? Tante nggak mau ya? tante nggak sayang sama Hasan?” ucapan Hasan menyadarkan Aida.
            Lidah Aida terasa keluh, “bukan begitu. Tante sayang sama kamu. Tapi tante tidak mungkin jadi bundanya Hasan, kan Hasan sudah punya bunda.”
            “Hasan sudah tidak punya bunda lagi. Kata ayah, Allah sangat menyayangi bunda. Jadi, Allah mengambil bunda,” ucapan polos Hasan membuat mata Aida mulai berkaca-kaca.
            “Bunda Aini pasti bahagia kalau tante mau jadi bundanya Hasan,” Hasan kembali bersuara. Hati Aida mendadak merasa sesak saat mendengar nama Aini. Nama itu memang banyak. Tapi mimpi yang beberapa hari lalu menghiasi tidur Aida tiba-tiba terulang kembali dalam pikirannya. Betapa bodoh dirinya selama ini tidak menyadari bahwa wajah Hasan sangatlah mirip dengan Aini. Sahabatnya.
            “Nama bunda kamu Aini?,” Aida mencari kepastia, berusaha menepis kemungkinan yang terjadi
            Hasan mengangguk pasti, “ia Bunda Hasan Aini Salsabila,” bak disambar petir di malam hari, tubuh Aida seketika mengejang. Lidahnya keluh, hatinya terasa begitu sesak. Air matanya kini tak dapat terbendung.
            Hasan melihat perubahan di wajah Aida, “apa tante kenal bunda Hasan?,” Aida tidak sanggup berkata-kata, ia hanya mampu mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Hasan.
**
            Beberapa hari setelah malam itu, Aida bersama dengan Hasan dan Hafidz pergi ke makam Aini. Ia tidak menyangka kan bertemu dengan Aini di pemakaman. Masih teringat dengan jelas dalam ingatan Aida, terakhir kali bertemu Aini, saat sahabatnya memutuskan kuliah di Mesir. Saat Aida melepas Aini di bandara.
            “Dunia terasa begitu sempit bukan? Sama sekali aku tidak menyangka kamu adalah sahabat Aini di mahad madani, sosok yang selama ini sering ia ceritakan,” Hafidz memecah keheningan di tengah perjalanan menuju parkiran pemakaman.
            “Kakak benar. Aku merindukan sahabatku dan Allah mempertemukan aku dengannya di tempat ini.”
            “Setiap takdir yang digariskan Allah pasti ada hikmahnya”
            Aida tersenyum ramah menanggapi ucapan pria yang telah ia kagumi semenjak pertemuan pertama mereka.
            Saat Aida berjalan mendahului Hafidz, tiba-tiba Hafidz meminta Aida untuk menghentikan langkahnya. “Aku ingin berbicara sesuatu,” ucap Hafidz setelah berdiri dihadapan Aida.
            “Bukankah dari tadi kita telah berbicara?,” Aida menaikkan alis kirinya.
            Hal turidiin an takuna zaujati?,” kata-kata itu berhasil meluncur dari bibir Hafidz. Aida merasa bingung. Hatinya campur aduk tidak karuan. Ia tidak tahu harus memberikan jawaban apa pada pria yang sedang berdiri di hadapannya itu.
            “Aida apa kamu marah?,” Hafidz mencoba memberanikan diri, jantungnya terus berdegup dengan kencang.
            Aida menggelengkan kepalanya, wajahnya tidak berani memandang pria itu. Dia tertunduk, “berikan Aida waktu kak sampai saat matahari berada di ufuk barat. Datanglah ke rumah ba’da maghrib,” hanya kata-kata itu yang mampu terucap dari bibir ranum Aida.
Mahad : Pondok Pesantren
Nduk: Panggilan orang jawa untuk anak perempuan
Mahram: Hubungan keluarga
Hal turidiin an takuna zaujati?: Apa kamu mau menjadi istriku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar